Sabtu, 30 September 2017

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu (PHPT)

Sumber : http://ilmudasartani.blogspot.co.id

Apa itu hama ?

Hama adalah binatang yang merusak tanaman yang dibudidayakan oleh petani dan dapat dilihat oleh mata telanjang.

Apa itu penyakit ?

Penyakit adalah penyebab tanaman menjadi sakit atau mati yang disebabkan oleh bakteri, cendawan, virus, bisa juga kekurangan atau kelebihan air, kekurangan atau kelebihan unsur hara, suhu terlalu panas atau terlalu dingin dan penyebabnya tidak bisa dilihat oleh mata telanjang.

Hama dan Penyakit

Hama dan penyakit adalah merupakan mikroorganisme parasit yang menyebabkan tanaman atau binatang yang hidup menumpang pada bagian luar atau dalam tubuh tanaman atau binatang tersebut.
Sebelum melakukan pemberantasan hama dan penyakit sebelumnya dikakukan pengamatan yang sangat cermat, biar bisa diketahui hama dan penyakit yang menyerang pada tanaman tersebut berapa persentase serangannya dan hama dan penyakit apa saja yang menyerang sehingga kita bisa mengendalikannya dengan cepat, tepat dan benar. Jenis hama penyakit yang menyerang tanaman petani antara lain:
  1. Ulat, belalang, kepik, lalat buah, tungau dll diberantas dengan insektisida. Contoh: Curakron, drusban, reagent, sevin, lanete,agimex,confidor dll.
  2. Cendawan jamur, bakteri, virus, dll diberantas dengan menggunakan fungisida. Contoh: dithane 45,antracole,benlate,bion m,score,bazooka dll.
  3. Cacing, keong, pacet dll, dibrantas dengan menggunakan nematisida. Contoh: furadan,curater,ciputok,dll
  4. Baby, tikus dan mamalia lainnya diberantas dengan rodentisida, Contoh: timek,klerak,ratgon,pithon dll
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu (PHPT)

  • Sejarah

Penggunaan pestisida yang berlebihan telah menimbulkan masalah lingkungan, seperti matinya makhluk bukan sasaran dan musuh alami, residu pestisida dalam bahan makanan, pencemaran air, tanah, dan udara, serta kecelakaan bagi manusia (keracunan, kematian). Menyadari berbagai dampak negatif penggunaan pestisida yang berlebihan, pemerintah telah mengubah kebijaksanaan pengendalian hama dan penyakit tumbuhan ke arah pendekatan yang lebih komprehensif. Pendekatan ini berdasarkan dinamika ekosistem pertanian dengan mengintegrasikan berbagai taktik pengendalian secara kompatibel, sehingga populasi hama dan penyebab penyakit dapat dipertahankan berada di bawah ambang populasi yang secara ekonomi tidak merugikan dan dapat melestarikan lingkungan hidup. Pendekatan ini dikenal dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Menurut Smith (1966 cit. Untung, 1966) PHT merupakan pendekatan ekologi yang bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam taktik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan.
Guna memasyarakatkan PHT, dilaksanakan pelatihan bagi petugas dan petani melalui SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu). Keberhasilan program pelatihan ini mendorong perkembangan paradigma PHT baru yaitu PHT ekologi. Konsep PHT tidak hanya sebagai teknik pengendalian hama, tetapi sebagai pendekatan pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan menempatkan petani sebagai penentu dan pelaksana utama PHT di tingkat lapangan (Untung, 2000). Keberhasilan penerapan PHT tampak dari berkurangnya penggunaan pesitisida kimia. Hasil uji petik yang dilakukan oleh Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman pada tahun 2004 menunjukkan bahwa residu. Pestisida pada beberapa komoditas sayuran / buahan berada di bawah nilai BMR (Batas Maksimum Residu) yang telah ditetapkan, yakni pada jeruk (Jawa Timur, Sumatera Utara), anggur (Bali), bawang merah (Jawa Timur), dan tomat (Jawa Barat).
Secara nasional implementasi PHT dimulai melalui Inpres No. 3 Tahun 1986 untuk mengatasi wereng coklat tanaman padi (Suharsono, 1996), dan secara legal formal PHT diterima sebagai kebijakan perlindungan tanaman di Indonesia sejak tahun 1992, melalui UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Namun, di beberapa daerah masih dijumpai sejumlah petani menggunakan pestisida kimia secara berlebihan untuk pengendalian hama dan penyebab penyakit, baik pada tanaman semusim maupun pada tanaman tahunan. Data penggunaan pestisida oleh petani padi dan kedelai dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, bahwa rata – rata nasional penggunaan pestisida sejak tahun 1983 tidak banyak mengalami perubahan , dan penggunaan pestisida oleh petani kedelai sejak tahun 1992 cenderung menurun. Menurut Untung (2004), masih tingginya penggunaan pestisida di tingkat petani menunjukkan bahwa masih puluhan juta petani perlu ditingkatkan kesadaran dan pengetahuannya tentang pemanfaatan pestisida sesuai dengan prinsip PHT.  
  • Konsep PHPT

Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam pengendalian hama yang dihasilkan melalui pertemuan panel ahli FAO di Roma tahun 1965. Di Indonesia, konsep PHT mulai dimasukkan dalam GBHN III, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 3 tahun 1986 dan undang-undang No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman, dan dijabarkan dalam paket Supra Insus, PHT menjadi jurus yang dianjurkan. (Arifin dan Iqbal, 1993; Baco, 1993; Soegiarto, et, al., 1993). Adapun tujuan PHT adalah meningkatkan pendapatan petani, memantapkan produktifitas pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang tidak merugikan tanaman, dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian.
Dari segi substansial, PHT adalah suatu sistem pengendalian hama dalam konteks hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, menggunakan berbagai teknik yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama tetap berada di bawah ambang kerusakan ekonomi. Dalam konsep PHT, pengendalian hama berorientasi kepada stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi serta sosial. Dengan demikian, pengendalian hama dan penyakit harus memperhatikan keadaan populasi hama atau patogen dalam keadaan dinamik fluktuasi disekitar kedudukan kesimbangan umum dan semua biaya pengendalian harus mendatangkan keuntungan ekonomi yang maksimal (Arifin dan Agus, 1993).
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan jika populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu singkat menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada biaya pengendalian (Soejitno dan Edi, 1993). Karena itu secara berkelanjutan tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan penyakit perlu dilaksanakan.
  •  Ambang Ekonomi
Ambang Ekonomi adalah batas populasi hama atau kerusakan oleh hama yang digunakan sebagai dasar untuk digunakannya pestisida. Diatas AE populasi hama telah mengakibatkan kerugian yang nilainya lebih besar daripada biaya pengendalian. Ambang Ekonomi adalah  kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk  mencegah  peningkatan  populasi  hama  berikutnya  yang  dapat  mencapai  Aras  Luka Ekonomi,  ALE  (Economic  Injury  Level).  Sedangkan  ALE  didefinisikan  sebagai  padatan populasi terendah yang mengakibatkan kerusakan ekonomi. Kerusakan ekonomi terjadi bila nilai  kerusakan  akibat  hama  sama  atau  lebih  besarnya  dari  biaya  pengendalian  yang dilakukan,  sehingga  tidak  terjadi  kerugian.  Dengan  demikian  AE  merupakan  dasar pengendalian hama untuk menggunakan pestisida kimia.
  • Cara Pengendalian 
Usaha untuk memperoleh hasil tanaman yang maksimal bermacam cara dilakukan, menurut AAK (1992) cara-cara pengendalian tersebut digolongkan kepada lima cara yaitu: fisik dan mekanik, penggunaan varietas tahan, bercocok tanam, biologi, dan kimia.
1.      Fisik dan Mekanik
Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual. Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung atau dengan melibatkan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah-daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah.
Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil ulat-ulat atau siput secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis. Pengendalian mekanis juga telah lama dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat pucuk daun tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk mengendalikan hama ini para petani pada pagi hari turun ke sawah untuk mengambil dan mengumpulkan ulat-ulat yang berada di pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu kemudian dibakar atau dimusnahkan.
Pengendalian  hama  atau penyakit  dengan  fisik  adalah penggunaan  panas  dan  pengaliran udara.  Sedangkan  mekanik adalah  usaha  pengendalian  dengan  cara  mencari  jasad  perusak  tanaman,  kemudian memusnahkannya.  Cara  ini  dapat  dilakukan  dengan  tangan  atau  menggunakan  alat  berupa perangkap.
Terkadang cara ini lebih efektif untuk menekan populasi hama dan tentu saja dengan memperhatikan  waktu  dan  tempat  yang  tepat.  Misalnya  untuk  mengendalikan  hama ulat  jengkal  yang  aktivitas  hidupnya  pada  siang  hari  hal  ini  akan  efektif  tetapi  akan terasa berbeda apabila mengendalikan hama ulat grayak/ ulat tanah secara fisik pada siang  hari  karena  ulat  grayak  /  ulat  tanah  tidak  akan  ditemukan  pada  siang  hari, demikian juga untuk hama-hama yang lain. Juga perhatikan siklus dari serangga hama maksudnya apabila anda ingin mengendalikan hama ulat tetapi saat ini siklusnya untuk daerah tersebut sudah menjadi kupu-kupu atau ngengat, maka jangan  berharap anda bisa  menemukan  ulat  yang  anda  maksud.  Untuk  itu  kenali  dahulu  karakteristik  dan sifat dan siklus dari serangga hama yang akan kita kendalikan secara fisik.
2.      Penggunaan Varietas Tahan
Penggunaan varietas tahan merupakan usaha pengendalian hama atau penyakit yang mudah dan murah bagi petani. Telah banyak varietas-varietas padi yang dilepas oleh Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian dan lembaga riset dalam dan luar negeri yang tahan terhadap hama dan penyakit utama tanaman.
Penggunaan  varietas  tahan  telah  terbukti  dapat  mengurangi  kehilangan  hasil,  namun penggunaan  varietas  tahan  yang  memiliki  gen  ketahanan  yang  tunggal  akan  memacu timbulnya  biotipe  dan  strain  atau  ras-ras  baru  yangs  akan  lebih  berbahaya.  Untuk  itu dianjurkan  melakukan  pergiliran  varietas  atau  melakukan  penanaman  varietas  padi  yang memiliki  berbagai  tingkat  ketahanan.
Pada  tingkat  ini  adalah  peran  dari  para  peneliti  pertanian.  Bagaimana  mereka  dapat menciptakan varietas tanaman yang tahan terhadap hama dan penyakit dan tentu saja dengan hasil  yang  lebih  baik  dari  varietas  sebelumnya.  Sedangkan  peran  petani  adalah  dengan menanam jenis / varietas yang telah lolos uji dan terbukti menguntungkan bagi petani.
3.      Berbagai usaha dalam bercocok tanam dapat menekan perkembangan jasad pengganggu tanaman, mulai dari pengolahan tanah, jarak tanam, waktu tanam, pengaturan pengairan, pengaturan pola tanam, dan pemupukkan (AAK, 1992).
·         Jarak Tanam
Pengaturan jarak tanam sebagai salah satu komponen pengendalian merupakan merobahan iklim mikro (iklim sekitar tanaman) sedemikian rupa, sehingga tidak menguntungkan bagi perkembangan hama atau patogen (penyebab penyakit).
·         Waktu Tanam
Iklim berpengaruh terhadap kehidupan jasad pengganggu tanaman, untuk menghindari kerusakan pada tanaman yang diakibatkan oleh jasad pengganggu tersebut perlu mnentukan waktu tanam yang tepat.
·         Pengaturan Pola Tanam
Menanaman tanaman sejenis terus menerus, apalagi dengan menanam tanaman yang memiliki tingkat ketahanan sama dengan tanaman sebelumnya, akan memberi peluang untuk meningkatnya populasi jasad perusak tanaman. Karena keadaan ini merupakan lingkungan yang sesuai dan tersedianya sumber makanan sepanjang musim bagi hama atau patogen. Untuk itu perlu pengaturan pola tanam berupa pergiliran tanaman antar berbagai jenis dengan tanaman yang bias di polykultur kan.
4.      Agen Hayati
Merupakan organisme yang bertindak sebagai musuh alami dalam melakukan pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman atau organisme yang bersifat antagonis terhadap organisme pengganggu tanaman. Dan dapat merusak, mengganggu kehidupan atau menyebabkan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) sakit atau mati. Agen Hayati dapat berupa predator, parasitoid, patogen dan agens antagonis.
·         Predator adalah binatang yang memburu dan memakan atau menghisap cairan tubuh mangsanya. Contoh : Lycosa pseudoannulata (laba-laba).
·         Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga lainnya (serangga inang) hanya selama masa pra dewasa (masa larva). Imago hidup bebas bukan sebagai parasit dan hidup dari memakan nektar, embun madu, air dan lain-lain. Contoh : Diadegma semiclausum (parasitoid terhadap ulat daun kubis).
·         Patogen adalah mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit terhadap OPT. Secara spesifik mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga disebut mikroorganisme entomopatogen, yang terdiri dari cendawan, bakteri dan virus.
·         Agens Antagonis adalah mikroorganisme yang mengintervensi/menghambat pertumbuhan patogen penyebab penyakit pada tumbuhan.
5.      Kimiawi
Penggunaan pestisida kimia untuk pengendalian hama dan penyakit sangat jelas tingkat keberhasilannya. Penggunaan pestisida kimia merupakan usaha pengendalian yang kurang bijaksana, jika tidak dikuti dengan tepat penggunaan, tepat dosis, tepat waktu, tepat sasaran, tepat jenis dan tepat konsentrasi. Keadaan ini yang sering dinyatak sebagai penyebabkan peledakan populasi suatu hama (Soegiarto, et. al.,, 1993). Karena itu penggunaan pestisida kimia dalam pengendalian hama dan patogen perlu dipertimbangkan, dengan memperhatikan tingkat serangan, ambang ekonomi, pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dan hewan.

DAFTAR PUSTAKA

Alteri, M.A. 2002. Agroecology: Principles and strategies for designing sustainable farming system. Sustainable Agriculture Network. Sustainable Agriculture Research and Education (SARE) Program. Sustainable Agriculture Publications, 210 UVM, Hill Building, Burlington, VT 05405-0082. 7 pp.
Arifin M., dan Agus Iqbal. 1993. Arah, strategi, dan program penelitian biodiversitas dan interaksi komponen ekosistem pertanian tanaman pangan sebagai unsur dasar pengelolaan hama secara alamiah. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
Baco, J. 1993. Langkah, strategi dan program penelitian bioekologi serangga tanaman pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
Departemen Pertanian. 2003. Kebijakan dan Strategi Nasional Perlindungan Tanaman dan Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian, Jakarta. 140 hlm.
Earles, R. 2002. Sustainable agriculture: An introduction. ATTRA-National Sustainable Agriculture Information service. http://attra.ncat. org/attra-pub/ PDF/sustagintro.pdf
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003. Petunjuk Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian; 38 hlm.
Satari, G. 1983. Prospek peningkatan produksi padi di Indonesia.hlm. 1-8. Dalam Masalah dan Hasil Penelitian Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Soejitno, J. ean Edi S. 1993. Arah dan strategi penelitian ambang ekonomi hama tanaman pangan. Seminar Hama Tanaman, 4-7 Maret 1993 di Sukarami. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai penelitian Tanaman Pangan Sukarami.
Untung, K. 2000. Pelembagaan konsep pengendalian hama terpadu Indonesia. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 6(1): 1-8.